PALEMBANG — Istilah Melayu semenjak ditafsirkan oleh UNESCO pada tahun 1972 sebagai suatu suku bangsa Melayu yang mendiami Semenanjung Malaysia, Thailand, Indonesia, Filipina, dan Madagaskar, mengindikasikan meski sekarang sudah berbeda bangsa dan negara, kita adalah dari suku yang sama, yakni bangsa melayu, dan hal itu bisa dijadikan sebuah refrensi ikatan silaturahmi, setelah bangsa ini disibukkan oleh berbagai temuan untuk untaian sejarah dari berbagai kerajaan di Indonesia dan negara lain.
Jauh sebelum nama Bangsa – Bangsa ini berubah nama, seperti hal nya Indonesia, dalam perpustakaan India Kuno negeri ini disebut Nusantara atau Dwipantara yang berarti pulau – pulau yang diantara benua – benua dan di dalam sejarah Melayu sendiri Negeri ini dinamai Nusa Tamara yang asalnya dari kata Nusantara.
Dalam tulisan kali ini, saya sedikit mengulas tentang salah satu Kerajaan di Nusantara, yakni Kerajaan Sriwijaya atau Kedatu’an Sriwijaya yang dikabarkan pernah ada pada pertengahan abad ke 7 dan berakhir pada Abad Ke 13.
Semenjak, George Coedes Menetapkan Bahwa, Letak Ibukota Kerajaan Sriwijaya adalah Palembang, dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt dalam karangannya, Notes On The Malay Archipelago And Malacca, Compiled From Chinese Source, Yang Menyatakan Bahwa, San-Fo-Tsi adalah Palembang.
Sedangkan sebelumnya George Coedes, Samuel Bealtelah mengemukakan pendapatnya terlebih dahulu di tahun 1886 Bahwasanya, Shih-Li-Fo-Shih Merupakan Suatu Daerah Yang Terletak di Tepi Sungai Musi, dekat Kota Palembang sekarang.
Dari pendapat – pendapat Ini, akhirnya mulai munculah kecenderungan untuk menganggap Palembang sebagai Pusat Kerajaan Sriwijaya.
Sejarah Kedatu’an ini juga di kabarkan pula sangat berkuasa dan penguasa maritim pada saat itu yang menjelma dalam literatur sejarah dunia, baik dalam buku sejarah saat ini hingga jejak digital yang tersimpan di dunia Maya.
Pengemasan literatur Kedatu’an ini dalam pendidikan sejarah, seakan – akan menghilangkan bukti awal dari berdirinya Kedatuan ini, siapa sebenarnya “mereka” sebelum menaklukkan Melayu yang ada di Palembang, dengan jawaban ” ini masih menjadi suatu misteri” suatu kata yang tak dirasa tepat lagi di zaman seperti ini.
Sebenernya ada banyak teori oleh peneliti yang memandang asal Sriwijaya itu berada di luar Kota Palembang Sumatera Selatan, seperti Profesor Takashi Suzuki asal Jepang, setelah hampir 30 tahun belajar, dirinya telah menyimpulkan bahwa Chaiya selatan Thailand adalah ibu kota Sriwijaya, bukan Palembang.
Selanjutnya berdasarkan tafsiran atas isi Prasasti Kedukan Bukit, oleh Moens, yang berpendapat bahwa pada tahun 682 Masehi Kadatuan Sriwijaya (Kelantan) menaklukan Kerajaan Malayu (Palembang), antara tahun 683 dan 695 Masehi.
Kemudian teori kekaisaran Sriwijaya yang muncul melalui kombinasi negara kota Melayu yang bermufakat untuk membuat entitas politik untuk menghadapi politik perdagangan dengan Pemerintah Tang serta mencegah serangan dari Chen-la, dan di duga diskusi ini diadakan di Bukit Suci, yang dinamai Bukit Sriwijaya (Bukit Sri Berjaya atau Khao Si Wichai), di mana 8 kuil kuno 670 M ditemukan di bukit tersebut.
Dan teori asal muasal orang Sriwijaya yang hadir dari elit-elit Funan yang melarikan diri dari serangan dan penindasan Chenla, menuju ke negeri-negeri Melayu di Semenanjung karena mereka memang mempunyai hubungan erat dengan tempat ini dan dipercayai nenek moyang mereka juga pernah berasal dari sini, kemudian membina kekuatan baru dan mengumpul tentera untuk membentuk sebuah kerajaan yang baru dengan nama Sriwijaya.
Kemudian, menurut saya pribadi ternyata ada satu kesalahan fatal dan khilafan dari diri kita dalam mengurai tulisan dari prasasti, dengan memposisikan setiap tulisan prasasti pada frame perbaris, sehingga yang muncul dalam benak penikmat sejarah dan orang – orang yang ingin belajar sejarah, bahwa setiap baris merupakan akhir dari setiap kalimat, padahal isi prasasti itu kebanyakan satu dari sebuah kalimat, yang sama halnya paragraf kalau kita sebut sekarang.
Seperti halnya pada prasasti Kedukan Bukit, pada baris ke 4 di akhir kalimat menyebut kata “Minanga” yang sampai sekarang masih belum ada letaknya, ada yang menyebut Minanga Malaysia dan ada pula yang mengklaim bahwa Minanga itu letaknya di Komering Sumatera Selatan.Namun seandainya kita melepaskan sedikit saja keegoisan kita untuk menemukan sejarah yang benar, maka kita akan menemukan kalimat prasasti yang berbahasa Melayu itu, bila digabungkan dengan awal Baris Ke 5, maka akan kita temukan “minānga tāmvan ” yang berarti dua muara yang bertemu.
Sekelumit teori tentang asal Sriwijaya tersebut, seakan berusaha di tenggelamkan dalam kemegahan Sriwijaya dan Zaman Keemasan, kita disibukkan dengan pencarian zaman keemasan dari pada asal mula dari Sriwijaya, yang menurut saya pribadi menjadi suatu hal kosong dan tak menemukan bukti yang kuat tentang pusat Sriwijaya, karena memang asal dari Kedatu’an ini saya rasa memang tak berada disini kalau mendasar kepada teori Takashi Suzuki, Moens dan asal orang Sriwijaya dan Prasasti Kedukan Bukit.
Sehingga, apabila kesemua bisa di rangkum tanpa ada unsur egois didalamnya dan didukung oleh pakar sejarah,sejarawan serta temuan arkelog saya berfikir dalam waktu dekat ini kita akan menemukan asal Sriwijaya masuk ke Palembang dan bagaimana Melayu Palembang ini di Taklukkan oleh Sriwijaya. (*)
Komentar